Sunday 30 October 2011

Seluk beluk penanganan perkara Narkotika

Photobucket

Permasalahan penyalahgunaan narkotika dimasyarakat kita sudah menjadi persoalan yang merupakan momok utama yang patut segera mendapat penanganan yang lebih serius dan lebih mendasar hingga persoalan ini dapat sedikit demi sedikit berkurang hingga bahkan hilang sama sekali dari bumi Indonesia yang kita cintai. Oleh sebab itu penanganan perkara narkotika bukan hanya menjadi kewajiban pemerintah atau yang berwenang, tapi sudah menjadi persoalan kita bersama sebagai generasi muda penerus bangsa, sehingga penyalahgunaan narkotika sampai kepada penanganan bagi yang terlanjur terlibat dalam penyalahgunaan tersebut dapat terselesaikan dengan baik sehingga dapat sedikit demi sedikit timbul kesadaran dari pribadi kita masing-masing baik secara sosial maupun dari segi hukum sendiri.
Berikut adalah sedikit banyak problematika yang kerap kita jumpai dalam proses penanganan penyalahgunaan narkotika, dan bagaimana kita seharusnya menyikapi permasalahan tersebut sehingga dapat terselesaikan dengan baik tanpa merusak rasa keadilan terhadap masyarakat kita yang notabene masih awam tentang hukum yang akan diterapkan kepada para penyalahguna narkotika tersebut.
Pada umumnya penanganan perkara narkotika pada tingkat penyidikan atau yang biasanya kita ketahui yaitu pada saat pemeriksaann di kantor polisi, tersangka kerapkali memperoleh "tawaran" agar masalahnya dapat "dibantu" oleh para oknum yang berwajib, yang dengan memanfaatkan ke-awaman para pencari keadilan ataupun tersangka maupun keluarganya, bahkan sampai kepada para penasehat hukum yang datang untuk mengurus perkara tersebut yang kurang memahami seluk beluk penanganan perkara narkotika.
Sebagai contoh yaitu pada saat tersangka penyalahguna dimintai keterangan atau yang kita kenal dengan di BAP atau di Bon, yaitu diperiksa oleh penyidik mengenai perkara narkotika tersebut,maka tidak jarang pula pihak tersangka ataupun keluarga meminta agar masalahnya dapat "dibantu", dalam arti agar si tersangka tidak dikenakan pasal yang berat ( pasal 114 ), dan agar tersangka dapat dikenakan pasal pemakai ( pasal 127 ), padahal jika kronologis kejadian perkara tersebut benar-benar mengindikasikan secara jelas bahwa si tersangka adalah murni pemakai dan bukan sedang mengedarkan atau menyediakan dan sedang menjadi perantara dalam jual beli ( kurir ), maka si tersangka tersebut dalam pemeriksaan haruslah dikenakan pasal 127 UU No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika sebagai pasal Subsider selain pasal primer yang biasanya lebih berat ( pasal 114/pasal 112/pasal 111 ) yang dikenakan terhadap tersangka, tanpa harus memberikan imbalan kepada penyidik agar pasal yang berat tadi dapat "dirubah" menjadi pasal yang ringan seperti tersebut diatas.
Namun yang terjadi kerapkali para oknum yang berwajib juga meminta imbalan karena telah "membantu" tersangka untuk "merubah pasal", padahal tanpa dimintai bantuan-pun sudah sewajibnya pihak penyidik atas instruksi Jaksa Penuntut Umum mencantumkan pasal subsider yaitu pasal 127 bagi yang murni pemakai,dalam berita acara pemerikasaan (BAP), sebab jika tidak ditambahakan pasal tersebut maka BAP tadi belum dinyatakan lengkap (P21) oleh JPU dan akan terus diadakan Perpanjangan Penahanan sampai dengan 60 hari.