Wednesday 14 December 2011

IMPLIKASI UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

OLEH :
Andreas Josef Swisman, S.H.
Senior Advocate.

Implikasi bagi perkembangan hukum narkotika di Indonesia

 Psikotropika golongan I dan golongan II dinyatakan sebagai bagian dari narkotika.
 UU No. 22 Tahun 1997 tidak berlaku lagi.
 Lampiran Psikotropika golongan I dan golongan II di dalam UU No. 5 Tahun 1997 tidak berlaku lagi.
 Peraturan pelaksana UU No. 22 Tahun 1997 tetap diberlakukan.
 Kecuali untuk Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007 tentang tentang Badan Narkotika Nasional, Badan Narkotika provinsi, dan Badan Narkotika kabupaten/kota, dicabut dan diperkuat keberadaannya dengan UU NO. 35 Tahun 2009.

Implikasi bagi pengguna narkotika

 Dikenal istilah pecandu, penyalahguna, dan mantan pecandu.
 Diatur mengenai rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, dan upaya lain dengan pendekatan keagamaan dan tradisional.
 Wajib lapor
 Pemidanaan yang lebih kuat, baik dalam bentuk pemenjaraan maupun denda.
 Diatur mengenai vonis dan penetapan rehabilitasi (mandatory rehabilitation)

Implikasi bagi masyarakat

 Wajib lapor, terutama bagi pecandu yang di bawah umur
 Pemidanaan bagi yang tidak melakukan wajib lapor
 Peran serta masyarakat yang lebih besar dalam mengungkap tindak pidana narkotika

Implikasi bagi pemerintah

Pemerintah harus membuat dan memberlakukan peraturan pelaksana UU No. 35 Tahun 2009 dalam waktu satu tahun semenjak UU ini diberlakukan.

Daftar peraturan pelaksana yang harus dibuat oleh pemerintah:

 PERATURAN PEMERINTAH
1. Peraturan Pemerintah tentang kegiatan transito narkotika (pasal 32)
2. Peraturan Pemerintah tentang syarat dan tata cara produksi, impor, ekspor, peredaran, pencatatan dan pelaporan, serta pengawasan prekursor narkotika (pasal 52)
3. Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan wajib lapor bagi pecandu narkotika dan orang tua atau wali dari pecandu narkotika (pasal 55)
4. Peraturan Pemerintah tentang pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan narkotika (pasal 62)
5. Peraturan Pemerintah tentang pengawasan terhadap segala kegiatan yang berkaitan dengan narkotika (pasal 62)
6. Peraturan Pemerintah tentang syarat dan tata cara penyimpanan, pengamanan, dan pengawasan narkotika dan prekursor narkotika yang disita (pasal 89)
7. Peraturan Pemerintah tentang syarat dan tata cara pengambilan dan pengujian sampel di laboratorium tertentu berupa sebagian kecil barang sitaan narkotika dan prekursor narkotika (pasal 90)
8. Peraturan Pemerintah tentang syarat dan tata cara penyerahan dan pemusnahan barang sitaan yang berupa narkotika maupun precursor narkotika (pasal 94)
9. Peraturan Pemerintah tentang tata cara perlindungan oleh negara terhadap saksi, pelapor, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa perkara tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika beserta keluarganya dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum, selama maupun sesudah proses pemeriksaan perkara (pasal 100)
10. Peraturan Pemerintah tentang tata cara penggunaan harta kekayaan atau aset yang diperoleh dari hasil tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika (pasal 101)

 PERATURAN PRESIDEN
1. Peraturan Presiden tentang struktur organisasi dan tata kerja BNN (pasal 67)
2. Peraturan Presiden tentang tata cara pengangkatan dan pemberhentian Kepala BNN (pasal 68)

 PERATURAN MENTERI KESEHATAN
1. Peraturan Menteri Kesehatan tentang perubahan penggolongan narkotika (pasal 6)
2. Peraturan Menteri Kesehatan tentang penyusunan rencana kebutuhan tahunan narkotika (pasal 9)
3. Peraturan Menteri Kesehatan tentang kebutuhan narkotika dalam negeri (pasal 10)
4. Peraturan Menteri Kesehatan tentang tata cara pemberian izin dan pengendalian terhadap produksi narkotika (pasal 11)
5. Peraturan Menteri Kesehatan tentang tata cara penyelenggaraan produksi dan/atau penggunaan dalam produksi dengan jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (pasal 12)
6. Peraturan Menteri Kesehatan tentang syarat dan tata cara untuk mendapatkan izin dan penggunaan narkotika bagi lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga pendidikan dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan oleh pemerintah ataupun swasta untuk memperoleh, menanam, menyimpan, dan menggunakan narkotika untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan teknologi (pasal 13)
7. Peraturan Menteri Kesehatan tentang tata cara penyimpanan narkotika secara khusus yang berada dalam penguasaan industri farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan (pasal 14)
8. Peraturan Menteri Kesehatan tentang jangka waktu, bentuk, isi, dan tata cara pelaporan pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika yang berada dalam penguasaan industri farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan (pasal 14)
9. Peraturan Menteri Kesehatan tentang syarat dan tata cara memperoleh Surat Persetujuan Impor dan Surat Persetujuan Ekspor narkotika (pasal 22)
10. Peraturan Menteri Kesehatan tentang syarat dan tata cara perizinan peredaran narkotika dalam bentuk obat jadi (pasal 36)
11. Peraturan Menteri Kesehatan tentang daftar narkotika olgongan II dan golongan III yang berupa bahan baku, baik alami maupun sintetis, yang digunakan untuk produksi obat (pasal 37)
12. Peraturan Menteri Kesehatan tentang syarat dan tata cara penyaluran narkotika (pasal 42)
13. Peraturan Menteri Kesehatan tentang syarat dan tata cara penyerahan narkotika (pasal 44)
14. Peraturan Menteri Kesehatan tentang syarat dan tata cara pencantuman label dan publikasi narkotika (pasal 47)
15. Peraturan Menteri Kesehatan tentang perubahan penggolongan prekursor narkotika (pasal 49)
16. Peraturan Menteri Kesehatan tentang syarat dan tata cara penyusunan rencana kebutuhan tahunan prekursor narkotika (pasal 50)
17. Peraturan Menteri Kesehatan tentang rehabilitasi medis dan lembaga rehabilitasi medis bagi pecandu narkotika serta penyembuhan pecandu narkotika melalui pendekatan keagamaan dan tradisional (pasal 59)

 PERATURAN MENTERI SOSIAL
1. Peraturan Menteri Sosial tentang rehabilitasi sosial bagi mantan pecandu narkotika (pasal 59)

 PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
1. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan tentang pengawasan terhadap bahan baku, proses produksi, dan hasil akhir dari produksi narkotika (pasal 11)
2. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan tentang syarat dan tata cara pendaftaran narkotika dalam bentuk obat jadi (pasal 36)

 PERATURAN KEPALA BNN
1. Peraturan Kepala BNN tentang syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian penyidik BNN (pasal 72)
2. Peraturan Kepala BNN tentang pembentukan wadah koordinasi peran serta masyarakat (pasal 108)

Tuesday 13 December 2011

NARCOTICS

PENANGANAN PERKARA NARKOTIKA DI TINGKAT PENYIDIKAN S/D PENUNTUTAN
CONTOH KASUS :
Seorang ibu yang anaknya terlibat dalam penyalahgunaan Narkotika, secara garis besar langkah-langkah yang dapat diambil :
1. Jika anak tersebut terlibat dalam penyalahgunaan narkotika namun belum menjalani proses penyidikan di kepolisian :
- Si ibu dapat melaporkan anaknya atau anak dapat melaporkan diri sendiri pada instansi yang ditunjuk oleh pemerintah agar dapat menjalani rehabilitasi medis dan sosial serta pengobatan dan atau perawatan ( mengacu pada pasal 55 Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ).
2. Jika anak tersebut tertangkap tangan oleh pihak kepolisian sedang membeli atau mengkonsumsi narkotika dan diproses oleh yang berwajib :
- Pihak keluarga dapat meminta pertolongan oleh seorang Penasehat Hukum agar dapat mendampingi anak tersebut untuk menangani perkara si anak agar dapat menjalani proses rehabilitasi untuk pecandu narkotika sesuai peraturan perundangan yang berlaku ( Pasal 127 Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ).
Pelaksanaan :
Penasehat hukum mendampingi anak ( tersangka ) dalam menjalani proses penyidikan di tingkat kepolisian dengan terus menerus melakukan supervisi ( pengawasan terhadap proses hukum yang sedang berlangsung ), dengan cara melakukan mediasi dengan pihak kepolisian terhadap kelanjutan perkara tersangka yaitu sbb:
- Meyakinkan pihak penyidik yaitu bahwasanya si anak ( tersangka ) adalah murni sebagai pemakai dan bukan pengedar yang menyediakan narkotika kepada orang lain ( berdasarkan keterangan yang diberikan tersangka dalam berita acara pemerikisaan ).
- Apabila sudah terdapat bukti awal yaitu bahwasanya anak tersebut adalah murni sebagai pemakai atau penyalahguna, maka wajib bagi penyidik untuk mencantumkan pasal pengguna yaitu pasal 127 UU.No.35 tahun 2009 tentang Narkotika sebagai pasal Subsider selain pasal Primer yaitu pasal 114, pasal 112/pasal 111 UU.No.35 tahun 2009 tentang Narkotika.
- Kadangkala pihak kepolisian meminta imbalan terhadap “jasa” mencantumkan pasal 127 tersebut, disebabkan karenan ke awaman para pencari keadilan tentang hukum positif yang berlaku, maka cenderung para keluarga tersangka memenuhi permintaan oknum aparat tersebut untuk memberikan sejumlah uang atas jasa tersebut, padahal yang sebenarnya menurut hukum positif yang berlaku di negara kita yaitu tentang narkotika pada khususnya, seorang tersangka wajib mendapatkan perlakuan yang adil mengenai perkara yang sedang dijalaninya yaitu menurut Instruksi Jaksa Penuntut Umum sudah seharusnya pasal 127 tersebut dicantumkan/ditambahkan pada BAP ( Berita Acara Pemeriksaan ),apabila ditemukan bukti permulaan yang cukup bahwa anak/tersangka tersebut adalah murni seorang pemakai dan bukan pengedar seperti yang terdapat pada pasal 114 dan 112/111 UU. No 35 tahun 2009 tentang Narkotika.