Saturday 31 March 2012

Alasan sebuah Perusahaan Pailit

Sekilas Tentang Kepailitan

Langkah-langkah pailit

Direktur utama telah memperoleh keputusan dalam rapat umum pemegang saham.
Mengajukan permohonan kepada Pengadilan.


Syarat pailit

Debitur mempunyai dua atau lebih kreditur.
Debitur tidak membayar sedikitnya satu hutang.
Hutang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih.


Alasan Kepailitan

Perusahaan tidak lagi sanggup membayar hutangnya.
Pengeluaran lebih besar dari pada pendapatan.
Adanya ancaman, teguran atau upaya hukum dan para kreditur.
Perusahaan tidak lagi menjalankan usahanya.
Adanya pemutusan hubungan kerja PHK bagi karyawannya.
Upaya terakhir yang paling baik untuk semua pihak dalam menyelesaikan pembayaran hutang.


Keuntungan pailit bagi debitur

Penghitungan bunga (kewajiban membayar bunga) bagi debitur menjadi terhenti.
Mengupayakan penyelesaian yang adil dan dapat digunakan cepat dan aktif.


Pasal 1 ayat 1 UU No. 4 1998 tentang kepailitan

Debitur dapat dinyatakan pailit atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan dari satu atau lebih krediturnya.


Pasal 1131-1132 KUHPer

Semua harta Debitur menjadi jaminan pembayaran atas semua hutang-hutangnya menurut besar kecilnya, dan dibayarkan menurut keseimbangan.

Sedangkan untuk pembayarannya dilakukan oleh kurator yang independent.
Ketika peryataan pailit oleh debitur, harta pailit merupakan sita umum yang diletakkan atas semua pihak debitur baik yang sudah ada atau yang akan ada yang nantinya akan dieksekusi.
Apakah bedanya seorang advokat, pengacara dan penasehat hukum?

Advokat / pengacara= trial lawyer= attorney at law= barrister, adalah orang yang mewakili kliennya untuk melakukan tindakan hukum berdasarkan surat kuasa yang diberikan untuk pembelaan atau penuntutan pada acara persidangan di pengadilan atau beracara di pengadilan (proses litigasi). atau menurut Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat Pasal 1 butir 1, advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan dan berdasarkan ketentuan UU Advokat.

Sebelum diberlakukannya UU Advokat, maka yang dimaksud dengan advokat adalah seseorang yang memiliki profesi untuk memberikan jasa hukum kepada orang di dalam pengadilan atau seseotang yang mempunyai izin praktek beracara di pengadilan di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia. Sedangkan yang dimaksud dengan pengacara biasa adalah seseorang yang memiliki profesi untuk memberikan jasa hukum di dalam pengadilan di lingkup wilayah yang sesuai dengan izin praktek beracara yang dimilikinya. Sehubungan dengan hal tersebut, apabila pengacara tersebut akan beracara di luar lingkup wilayah izin prakteknya tersebut di atas, maka ia harus meminta izin terlebih dahulu ke pengadilan dimana ia akan beracara. .

Penasehat hukum= counsellor at law= solicitor, adalah orang yang bertindak memberikan nasehat- nasehat dan pendapat hukum terhadap suatu tindakan/ perbuatan hukumn yang akan dan yang telah dilakukan oleh kliennya (non-litigation). Konsultan hukum menjalankan praktek profesinya berdasarkan surat izin usaha yang khusus yang diberikan oleh yang berwenang tidak di muka pengadilan. * Corporate lawyer pd perusahaan properti pada umumnya bekerja untuk pekerjaan2 hukum yang berkaitan dengan bidang usaha properti seperti pembebasan tanah, jual beli tanah, sewa menyewa gedung, perjanjian kerja sama penggunaan properti, perjanjian pembangunan gedung dengan kontraktor lainnya (pekerjaan diluar litigasi).

Saturday 24 March 2012

" Whistle Blower " harus dihukum?

Ada yang “menarik” dari pernyataan Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait vonis Agus Tjondro, kemarin (16/6) di Pengadilan Tipikor Jakarta. Koordinator Bidang Hukum ICW, Febri Diansyah, mengatakan ICW kecewa dengan putusan hakim yang menjatuhkan hukuman 1 tahun 3 bulan kepada Agus Tjondro. Agus Tjondro sebagai whistle blower seharusnya dibebaskan dari jeratan hukuman (KBR68H, 16 Juni 2011). Seperti diketahui, Agus Tjondro adalah orang yang mengungkap kasus suap cek pelawat pada pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Goeltom. Selanjutnya ICW meminta agar Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU LPSK) direvisi agar whistle blower terlindungi (Antara News, 17 Juni 2011).

Memahami Whistle Blower dan Putusan Bebas

Dalam Wikipedia Bahasa Indonesia, whistle blower diartikan sebagai karyawan, mantan karyawan atau pekerja, anggota dari suatu institusi atau organisasi yang melaporkan suatu tindakan yang dianggap melanggar ketentuan kepada pihak yang berwenang.

Menurut penulis, setidaknya ada 2 jenis whistle blower. Pertama, orang yang tidak melakukan kejahatan, namun berada di lingkungan orang yang melakukan kejahatan, dan melaporkan kejahatan tersebut.

Orang seperti ini berpotensi menjadi korban karena akan disingkirkan oleh orang-orang di sekitarnya yang melakukan kejahatan. Untuk whistle blower jenis ini sudah sepantasnya tidak dihukum karena memang tidak bersalah, dan harus dilindungi bahkan diberi penghargaan. Contohnya, Ibu Siami yang telah melaporkan praktik contek massal di sekolah anaknya.

Kedua, orang yang turut sebagai pelaku tindak pidana, namun karena alasan tertentu melaporkan tindak pidana yang dilakukannya/kelompoknya tersebut kepada aparat hukum. Whistle blower jenis ini tetap harus dikualifikasikan sebagai pelaku. Whistle blower ini tidak dapat langsung dianggap tidak bersalah dan dibebaskan, karena laporannya yang mengungkap terjadinya tindak pidana tidaklah menghilangkan sifat kesalahan yang telah dilakukannya sendiri. Terhadap whistle blower ini memang dapat diberikan beberapa keistimewaan seperti perlindungan khusus (untuk keamanan karena nilai kesaksiannya sangat penting) dan pengurangan hukuman (sebagai “balas jasa”).

Pengurangan hukuman bagi whistle blower karena perannya mengungkap tindak pidana pun, semata-mata bergantung pada pertimbangan hakim. Hal ini secara bijak sudah disadari oleh Agus Tjondro yang mengatakan “… seorang whistle blower bukan tidak harus dihukum. Sebab, hal tersebut akan mengabaikan rasa keadilan” (Suara Karya, 17 Juni 2011).

Memposisikan Whistle Blower

Whistle blower memang tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata, atas laporan atau kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Namun bukan berarti whistle blower tidak dapat dihukum atas perbuatan materil yang dilaporkannya sendiri. Bila logikanya whistle blower harus dibebaskan, penulis khawatir M. Nazaruddin sekali pun akan segera bebas bila dirinya berani mengungkap dugaan tindak pidana yang “katanya” terjadi di dalam kelompoknya.

Itulah sebabnya Pasal 10 ayat (2) UU LPSK menjelaskan saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan (bukan untuk membebaskan). Pasal 191 KUHAP tegas menyatakan seorang terdakwa hanya dapat dinyatakan bebas bila kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.

Akan sangat berbahaya bila seorang terdakwa “harus” dibebaskan semata-mata karena perannya sebagai whistle blower. Keadaan ini hanya akan menimbulkan ketidakpastian dalam sistem penegakan hukum. Semua orang akan merasa bebas - “bersama-sama” - melakukan tindak pidana, dan bila ada indikasi perbuatannya akan/telah diketahui, tinggal mengaku saja dan membuka semua rangkaian perbuatannya kepada penegak hukum, dengan asumsi akan segera dibebaskan.

Permintaan ICW agar whistle blower (perkara korupsi) tidak dihukum justru telah menimbulkan tanya bagi penulis, karena dalam perkara korupsi, whistle blower tetap menjadi pelaku, namun mendapat keistimewaan. Padahal ICW sendiri pernah menyatakan agar orang yang tersangkut perkara korupsi jangan mendapat keistimewaan (Kompas.com, 18 Agustus 2010).

Penulis berharap, dan tentunya akan sangat baik, bila setiap orang, termasuk ICW, dalam memberikan komentar semata-mata untuk memberikan pemahaman hukum secara utuh dan bertujuan untuk mencerdaskan masyarakat. Bukan karena ada muatan kepentingan tertentu. Apalagi dalam mengomentari sebuah putusan pengadilan, yang selayaknya tidak dikomentari. Bila tidak setuju dengan isi putusan pengadilan, sistem hukum sudah menyediakan sarana hukum, yaitu banding, kasasi maupun peninjauan kembali.

Friday 23 March 2012

Penjualan Harta Bersama Harus Mendapat Persetujuan Suami-Isteri

PENJUALAN HARTA BERSAMA HARUS MENDAPAT PERSETUJUAN OLEH SUAMI-ISTRI

Daulat Hutauruk Vs. Ir. Abu Bakar

KAIDAH HUKUM
Menurut ketentuan hukum perdata sejak perkawinan dilangsungkan maka demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri yaitu baik terhadap harta bergerak dan harta tidak bergerak, baik sekarang maupun yang akan ada kemudian, termasuk pula atas segala beban hutang suami-istri masing-masing harus pula diperhitungkan menjadi tanggung jawab bersama (vide : pasal 119 s.d 123 KUH Perdata). Harta bersama adalah segala harta benda yang didapat dalam masa perkawinan adalah merupakan harta bersama berdasarkan Pasal 35 ayat (1) Tahun 1974 yang menyatakan ”…harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama….”.

Mengenai segala bentuk peralihan hak atas harta bersama harus mendapatkan persetujuan dari kedua belah pihak yaitu suami-istri berdasarkan ketentuan undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan ”…mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak…”, jadi jelas peralihan hak harus mendapat persetujan dari suami-istri.

Konsekuensi atas penjualan sepihak suami atau istri tanpa persetujuan kedua belah pihak berakibat batal demi hukum karena terdapat khilafan atau penipuan. Batal demi hukum berarti perjanjian jual-beli tersebut dianggap tidak pernah ada dan juga berakibat bahwa barang dan orang-orangnya dikembalikan kedalam keadaan sewaktu sebelum perikatan dibuat. (vide : pasal 1452 KUH Perdata).

Sama halnya dalam kasus Rospita Sihombing – Daulat Hutauruk Vs Ir. Abu Bakar yang ditangani oleh LBH Mawar Saron, berawal dari Penjualan Tanah berikut Rumah diatasnya oleh Daulat Hutauruk kepada Ir. Abu Bakar yang merupakan harta bersama milik suami-istri yaitu : Rospita Sihombing dan Daulat Hutauruk. Penjualan tanah dan rumah tersebut dilakukan oleh sang suami yaitu Daulat Hutauruk tanpa persetujuan dari istri yaitu Rospita Sihombing oleh karena itu penjualan tersebut batal demi hukum dengan segala konsekuensinya.

Apabila kita tinjau lebih jauh Kasus yang menimpa sepasang suami-istri yaitu Daulat Hutauruk dan Rospita Sihombing melawan Ir. Abu Bakar yang telah ditangani oleh LBH Mawar Saron mungkin sangat mengoyak rasa keadilan dan kepatutan bagi sebagian orang dimana dalam satu peristiwa pertanggungjawaban hukumnya berbeda-beda yaitu setidaknya ada 3 (tiga) Putusan pengadilan menyangkut perkara ini. Pertanyaan tersebut dapat dijawab yaitu karena memang terdapat pertangungjawaban hukum yang berbeda dalam peristiwa tersebut yaitu unsur pidana dan unsur perdata, pertanyaan krusial sebenarnya adalah mengapa Ir. Abu Bakar menempuh kedua jalur tersebut sementara tujuan akhirnya adalah meminta pengembalian uang yang terlanjur diterima oleh Daulat Hutauruk mengapa tidak dari awal mengajukan gugatan perdata.

Dalam kasus ini, Ir. Abu Bakar dengan kesengajaannya melaporkan Daulat Hutauruk dengan dasar Pasal 378 KUHP dengan dugaan tindak pidana penipuan. Padahal pada faktanya Daulat Hutauruk telah mengembalikan sebagian dari uang penjualan yang diterimanya sebesar dan telah diterima juga oleh Ir Abu Bakar sebesar Rp. 38.412.000,- . Sehingga secara hukum, perbuatan yang dilakukan oleh Daulat Hutauruk bukanlah tindak pidana penipuan. Oleh karena Daulat Hutauruk telah menjalani hukuman penjara selama 9 bulan di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang, dan ternyata dikemudian hari diketahui bahwa terdapat kesalahan di dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 2428/Pid.B/2008/PN.Jkt.Bar maka LBH Mawar Saron mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali atas putusan Negeri Jakarta Barat No. 2428/Pid.B/2008/PN.Jkt.Bar yang saat ini sedang dalam proses pemeriksaan di Mahkamah Agung.

Bahwa terhadap perkara ini berakhir dengan kesepakatan perdamaian yang pada waktu proses Mediasi dipersidangan telah dicatatkan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Dading ini merupakan kesepakatan perdamaian yang memilki kekuatan yang sama dengan putusan hakim sehingga memiliki nilai eksekutorial dan oleh karena itu terhadap dading tidak ada upaya banding.