Friday 23 March 2012

Penjualan Harta Bersama Harus Mendapat Persetujuan Suami-Isteri

PENJUALAN HARTA BERSAMA HARUS MENDAPAT PERSETUJUAN OLEH SUAMI-ISTRI

Daulat Hutauruk Vs. Ir. Abu Bakar

KAIDAH HUKUM
Menurut ketentuan hukum perdata sejak perkawinan dilangsungkan maka demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri yaitu baik terhadap harta bergerak dan harta tidak bergerak, baik sekarang maupun yang akan ada kemudian, termasuk pula atas segala beban hutang suami-istri masing-masing harus pula diperhitungkan menjadi tanggung jawab bersama (vide : pasal 119 s.d 123 KUH Perdata). Harta bersama adalah segala harta benda yang didapat dalam masa perkawinan adalah merupakan harta bersama berdasarkan Pasal 35 ayat (1) Tahun 1974 yang menyatakan ”…harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama….”.

Mengenai segala bentuk peralihan hak atas harta bersama harus mendapatkan persetujuan dari kedua belah pihak yaitu suami-istri berdasarkan ketentuan undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan ”…mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak…”, jadi jelas peralihan hak harus mendapat persetujan dari suami-istri.

Konsekuensi atas penjualan sepihak suami atau istri tanpa persetujuan kedua belah pihak berakibat batal demi hukum karena terdapat khilafan atau penipuan. Batal demi hukum berarti perjanjian jual-beli tersebut dianggap tidak pernah ada dan juga berakibat bahwa barang dan orang-orangnya dikembalikan kedalam keadaan sewaktu sebelum perikatan dibuat. (vide : pasal 1452 KUH Perdata).

Sama halnya dalam kasus Rospita Sihombing – Daulat Hutauruk Vs Ir. Abu Bakar yang ditangani oleh LBH Mawar Saron, berawal dari Penjualan Tanah berikut Rumah diatasnya oleh Daulat Hutauruk kepada Ir. Abu Bakar yang merupakan harta bersama milik suami-istri yaitu : Rospita Sihombing dan Daulat Hutauruk. Penjualan tanah dan rumah tersebut dilakukan oleh sang suami yaitu Daulat Hutauruk tanpa persetujuan dari istri yaitu Rospita Sihombing oleh karena itu penjualan tersebut batal demi hukum dengan segala konsekuensinya.

Apabila kita tinjau lebih jauh Kasus yang menimpa sepasang suami-istri yaitu Daulat Hutauruk dan Rospita Sihombing melawan Ir. Abu Bakar yang telah ditangani oleh LBH Mawar Saron mungkin sangat mengoyak rasa keadilan dan kepatutan bagi sebagian orang dimana dalam satu peristiwa pertanggungjawaban hukumnya berbeda-beda yaitu setidaknya ada 3 (tiga) Putusan pengadilan menyangkut perkara ini. Pertanyaan tersebut dapat dijawab yaitu karena memang terdapat pertangungjawaban hukum yang berbeda dalam peristiwa tersebut yaitu unsur pidana dan unsur perdata, pertanyaan krusial sebenarnya adalah mengapa Ir. Abu Bakar menempuh kedua jalur tersebut sementara tujuan akhirnya adalah meminta pengembalian uang yang terlanjur diterima oleh Daulat Hutauruk mengapa tidak dari awal mengajukan gugatan perdata.

Dalam kasus ini, Ir. Abu Bakar dengan kesengajaannya melaporkan Daulat Hutauruk dengan dasar Pasal 378 KUHP dengan dugaan tindak pidana penipuan. Padahal pada faktanya Daulat Hutauruk telah mengembalikan sebagian dari uang penjualan yang diterimanya sebesar dan telah diterima juga oleh Ir Abu Bakar sebesar Rp. 38.412.000,- . Sehingga secara hukum, perbuatan yang dilakukan oleh Daulat Hutauruk bukanlah tindak pidana penipuan. Oleh karena Daulat Hutauruk telah menjalani hukuman penjara selama 9 bulan di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang, dan ternyata dikemudian hari diketahui bahwa terdapat kesalahan di dalam putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat No. 2428/Pid.B/2008/PN.Jkt.Bar maka LBH Mawar Saron mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali atas putusan Negeri Jakarta Barat No. 2428/Pid.B/2008/PN.Jkt.Bar yang saat ini sedang dalam proses pemeriksaan di Mahkamah Agung.

Bahwa terhadap perkara ini berakhir dengan kesepakatan perdamaian yang pada waktu proses Mediasi dipersidangan telah dicatatkan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Dading ini merupakan kesepakatan perdamaian yang memilki kekuatan yang sama dengan putusan hakim sehingga memiliki nilai eksekutorial dan oleh karena itu terhadap dading tidak ada upaya banding.

No comments: