Thursday 11 September 2014

Pada para penyalahguna yg kedapatan atau memang dilaporkan dan yg melaporkan diri sebagai pemakai, dan ternyata kepada para pemakai yg murni sebagai penyalahguna dimana sudah seharusnya sesuai dengan yg diatur dlm UU No.35 tahun 2009 tentang Narkotika yaitu menyebutkan bahwa Para penyalahguna dpt dikenakan hukuman Rehabilitasi dan hukuman Maximal 4 tahun. Jika kita merujuk pada Undang Undang Narkotika yg telah memenuhi standard dalam penanganan Perkara Narkotika, maka rasanya tidak ada celah untuk melakukan semacam " Penyelundupan Hukum " guna memenuhi kepentingan pribadi oknum penegak hukum dalam menangani perkara narkotika.Namun ini yg saya katakan lebih "canggih" modus yg dilakukan yaitu menawarkan bantuan dgn menambah pasal 127 dalam BAP atau yg mrk sebut dgn " pasal rehab " sehingga tendensius menyatakan bahwa pasal 112 adalah adalah " pasal pemakai " dan pasal 127 adalah " pasal rehab " sehingga dengan menawarkan bantuan tersebut para tersangka memperoleh hukuman yg diharapkan, sehingga keluarga tersangka bersedia mengeluarkan sejumlah dana tertentu utk proses tsb, yaitu merubah atau menambah pasal dalam BAP yaitu pasal 127, yg notabene sebenarnya tidak berubah sebab berdasarkan kronologis peristiwa yg tertuang dalam BAP tidak memberikan peluang bagi para penuntut utk menuntut ancaman hukuman yg berbeda dengan fakta fakta hukum yg ada sesuai dgn BAP. Namun telah terdapat pemahaman yg salah mengenai ancaman hukuman oleh keluarga tersangka ditambah tawaran bantuan oleh oknum tersebut, yg sebenarnya hanyalah melengkapi berkas perkara, maka keluarga tersangka mengeluarkan dana sekitar 15 - 20 juta rupiah sbg upah atas " jasa " oknum tersebut yg hanya menambahkan pasal yang sesuai yaitu Pasal 127, karena jika tidak mau " dibantu " maka pasal 112 yg mereka kenakan utk pasal primer. Memang benar pasal 112 sbg pasal primer mereka kenakan terhadap tersangka namun tanpa memberikan informasi mengenai pasal subsidair yg juga wajib mereka cantumkan dalam berkas perkara agar dapat dinyatakn lengkap oleh Penuntut Umum atau Jaksa. Sehingga mereka hanyalah melakukan apa yg memang sdh seharusnya sesuai prosedur hukum. Apalagi para tersangka biasanya dalam tingkat pemeriksaan kadang tidak didampingi oleh Penasehat Hukum, sehingga dalam prosesnya seluruhnya diatur oleh oknum penyidik tersebut tanpa disadari oleh tersangka bahwa sedang dimanfaatkan ke awam an mereka mengenai hukum shg dgn sangat mudah para keluarga tersangka itu diperas oleh oknum tersebut. Bentuk " bantuan " yg diberikan oleh oknum penyidik yaitu hanyalah menambah pasal 127 yang apabila tersangka tidak bersedia dibantu atau mengeluarkan sejumlah uang, namun memiliki pengetahuan yg cukup serta keberanian menghadapi sikap para aparat yg kadang seakan ingin menerkam jika sedang menjelaskan pasal yg notabene salah tersebut, maka Pasal 127 tersebut akan tetap diberikan oleh penyidik sebab hal tersebut merupakan syarat guna melengkapi berkas perkara ataupun BAP tersebut, serta apabila pasal 127 tersebut tidak diberikan kepada tersangka yg murni penyalahguna maka hal itu merupakan sebuah prosedur hukum yg menyimpang dan dapat menjadi blunder bagi penuntut umum apabila dikemudian hari pda proses persidangan tersangka maupun kuasa hukum tersangka melakukan pembelaan thd dakwaan jaksa yg tidak terdapat pasal subsidair tadi maka tentu saja dakwaan jaksa menjadi tidak tepat dan tidak memenuhi unsur sesuai yg dilakukan tersangka dalam BAP yaitu hanya sedang atau positif menggunakan, maka pasal 112 trsebut tidak tepat dan apbila tidak ada dakwaan subsidair maka otomatis tersangka akan langsung dibebaskan atau dapat dilepaskan dari hukuman, dan hal ini jarang terjadi sebab sangat beresiko bagi penuntut umum jika berani tidak menginstruksikan kepada penyidik utk melengkapi yaitu menambah pasal subsidar 127 tadi ke dalam BAP , sehingga para tersangka tidak seharusnya dan tidak perlu mengeluarkan dana utk hal yg sudah seharusnya diperoleh tersangka yaitu pasal 127 trsebut. Oleh sebab itu tersangka atau keluarganya harus berani mengatakan tidak untuk mengeluarkan dana yg diminta sebab pada akhirnya pasal 127 akan diberikan secara otomatis pada saat" terakhir proses penyidikan.

Tuesday 9 September 2014

Kupas Narkotika. Proses hukum yg dialami oleh tersangka kasus Narkotika bisa dikatakan sedikit "berbeda" dgn kasus pidana lainnya,sebab UU Narkotika ini yg menjadi pedoman dlm menjalankan proses hukum tersangka kasus narkotika yg sebenarnya sdh sangat baik menurut saya, namun dalam praktek nya para penegak hukum penyidik maupun penuntut umum kadang " menyesatkan " para pencari keadilan yg cenderung kebanyakan adalah org awam soal permasalahan hukum shg selalu menjadi " korban " oknum aparat penegak hukum. Sejak proses penyidikan dimulai, biasanya penyidik mulai melakukan pendekatan thd tersangka ataupun keluarganya utk menawarkan " bantuan " notabene agar kelak dakwaan tidak terlalu berat, Sebenarnya sah-sah saja krn dlm praktek biasanya mmg terdapat hal hal seperti itu utk memodifikasi BAP agar berbeda dgn kenyataan dgn tujuan meringankan dakwaan nantinya. Namun apabila kasus narkotika maka lebih banyak lagi celah bagi oknum penyidik utk " mengambil keuntungan pribadi " dgn cara menawarkan bantuan yg " sesat ". Knp sy katakan sesat ? Pada para penyalahguna yg kedapatan atau memang dilaporkan dan yg melaporkan diri sebagai pemakai, dan ternyata kepada para pemakai yg murni sebagai penyalahguna dimana sudah seharusnya sesuai dengan yg diatur dlm UU No.35 tahun 2009 tentang Narkotika yaitu menyebutkan bahwa Para penyalahguna dpt dikenakan hukuman Rehabilitasi dan hukuman Maximal 4 tahun. Jika kita merujuk pada Undang Undang Narkotika yg telah memenuhi standard dalam penanganan Perkara Narkotika, maka rasanya tidak ada celah untuk melakukan semacam " Penyelundupan Hukum " guna memenuhi kepentingan pribadi oknum penegak hukum dalam menangani perkara narkotika.Namun ini yg saya katakan lebih "canggih" modus yg dilakukan yaitu menawarkan bantuan dgn menambah pasal 127 dalam BAP atau yg mrk sebut dgn " pasal rehab " sehingga tendensius menyatakan bahwa pasal 112 adalah adalah " pasal pemakai " dan pasal 127 adalah " pasal rehab " sehingga dengan menawarkan bantuan tersebut para tersangka memperoleh hukuman yg diharapkan, sehingga keluarga tersangka bersedia mengeluarkan sejumlah dana tertentu utk proses tsb, yaitu merubah atau menambah pasal dalam BAP yaitu pasal 127, yg notabene sebenarnya tidak berubah sebab berdasarkan kronologis peristiwa yg tertuang dalam BAP tidak memberikan peluang bagi para penuntut utk menuntut ancaman hukuman yg berbeda dengan fakta fakta hukum yg ada sesuai dgn BAP. Namun telah terdapat pemahaman yg salah mengenai ancaman hukuman oleh keluarga tersangka ditambah tawaran bantuan oleh oknum tersebut, yg sebenarnya hanyalah melengkapi berkas perkara, maka keluarga tersangka mengeluarkan dana sekitar 15 - 20 juta rupiah sbg upah atas " jasa " oknum tersebut yg hanya menambahkan pasal yang sesuai yaitu Pasal 127, karena jika tidak mau " dibantu " maka pasal 112 yg mereka kenakan utk pasal primer. Memang benar pasal 112 sbg pasal primer mereka kenakan terhadap tersangka namun tanpa memberikan informasi mengenai pasal subsidair yg juga wajib mereka cantumkan dalam berkas perkara agar dapat dinyatakn lengkap oleh Penuntut Umum atau Jaksa. Sehingga mereka hanyalah melakukan apa yg memang sdh seharusnya sesuai prosedur hukum. Apalagi para tersangka biasanya dalam tingkat pemeriksaan kadang tidak didampingi oleh Penasehat Hukum, sehingga dalam prosesnya seluruhnya diatur oleh oknum penyidik tersebut tanpa disadari oleh tersangka bahwa sedang dimanfaatkan ke awam an mereka mengenai hukum shg dgn sangat mudah para keluarga tersangka itu diperas oleh oknum tersebut. Bentuk " bantuan " yg diberikan oleh oknum penyidik yaitu hanyalah menambah pasal 127 yang apabila tersangka tidak bersedia dibantu atau mengeluarkan sejumlah uang, namun memiliki pengetahuan yg cukup serta keberanian menghadapi sikap para aparat yg kadang seakan ingin menerkam jika sedang menjelaskan pasal yg notabene salah tersebut, maka Pasal 127 tersebut akan tetap diberikan oleh penyidik sebab hal tersebut merupakan syarat guna melengkapi berkas perkara ataupun BAP tersebut, serta apabila pasal 127 tersebut tidak diberikan kepada tersangka yg murni penyalahguna maka hal itu merupakan sebuah prosedur hukum yg menyimpang dan dapat menjadi blunder bagi penuntut umum apabila dikemudian hari pda proses persidangan tersangka maupun kuasa hukum tersangka melakukan pembelaan thd dakwaan jaksa yg tidak terdapat pasal subsidair tadi maka tentu saja dakwaan jaksa menjadi tidak tepat dan tidak memenuhi unsur sesuai yg dilakukan tersangka dalam BAP yaitu hanya sedang atau positif menggunakan, maka pasal 112 trsebut tidak tepat dan apbila tidak ada dakwaan subsidair maka otomatis tersangka akan langsung dibebaskan atau dapat dilepaskan dari hukuman, dan hal ini jarang terjadi sebab sangat beresiko bagi penuntut umum jika berani tidak menginstruksikan kepada penyidik utk melengkapi yaitu menambah pasal subsidar 127 tadi ke dalam BAP , sehingga para tersangka tidak seharusnya dan tidak perlu mengeluarkan dana utk hal yg sudah seharusnya diperoleh tersangka yaitu pasal 127 trsebut. Oleh sebab itu tersangka atau keluarganya harus berani mengatakan tidak untuk mengeluarkan dana yg diminta sebab pada akhirnya pasal 127 akan diberikan secara otomatis pada saat" terakhir proses penyidikan. Jika tersangka penyalahguna maupun keluarga berani utk mngatakan tidak bersedia utk " dibantu " oleh pihak kepolisian,maka hal tsb jg menutup kemungkinan bg oknum" tsb melakukan " kegiatan " yg sdh nyaris rutin dilakukan tsb,dan secara tidak langsung memberikan pengaruh yg positif thd kelangsungan proses hukum thd narkotika pada umumnya,dan pendidikan hukum kpd para penegak hukum tsb,shg dpt semakin menyadari bhw masyarakat awam tdk ingin lg di bodohi oleh oknum penegak hukum sesat,bhwa para pencari keadilan menginginkan terwujudnya Supremasi Hukum, dan bkn hny skdr solusi hukum belaka.